Selasa, 09 Februari 2010

Adaptasi Psikologi Dalam Kehamilan

2.1 Adaptasi Psikologi Kehamilan Trimester Pertama
Trimester pertama sering dianggap sebagai periode penyesuaian. Penyesuaian yang dilakukuan wanita adalah terhadap kenyataan bahwa ia sedang mengandung. Penerimaan terhadap kenyataan ini dan arti semua ini bagi dirinya merupakan tugas psikologis yang paling penting pada trimester pertama kehamilan.
Sebagian besar wanita merasa sedih dan ambivalen tentang kenyataan bahwa ia hamil. Kurang lebih 80% wanita mengalami kekecewaan, penolakan, kecemasan, depresi dan kesedihan.
Fokus wanita adalah dirinya sendiri. Dari fokus pada diri sendiri ini, timbul ambivalensi mengenai kehamilannya seiring usahanya menghadapi pengalaman kehamilan yang buruk, yang pernah ia alami sebelumnya, efek kehamilan terhadap kehidupannya kelak (terutama jika ia memiliki karier), tanggung jawab yang baru atau tambahan yang akan ditanggungnya, kecemasan yang berhubungan dengan kemampuannya untuk menjadi seorang ibu, masalah-masalah keuangan dan rumah tangga dan penerimaan orang terdekat terhadap kehamilannya. Perasaan ambivalen ini biasanya berakhir dengan sendirinya seiring ia menerima kehamilannya. Penerimaan ini biasanya terjadi pada akhir trimester pertama dan difasilitasi oleh perasaannya sendiriyang merasa cukup aman untuk mulai mengungkapkan perasaan-perasaan yang menimbulkan konflik yang dialami.
Beberapa ketidaknyamanan pada trimester pertama, seperti nausea, kelemahan, perubahan nafsu makan, kepekaan emosional, semua ini dapat mencerminkan konflik dan depresi yang ia alami dan pada saat bersamaan hal-hal tersebut menjadi pengingat tentang kehamilannya. (2)
Perubahan berat badan sangat bermakna bagi wanita hamil selama trimester pertama. Berat badan dapat menjadi salah satu uji realitas tentang keadaannya karena tubuhnya menjadi bukti nyata bahwa dirinya hamil. Bagi kebanyakan wanita, peningkatan berat badan dini dapat dilihat sebagai bukti bahwa janin yang berada di dalam kandungan mengalami pertumbuhan walaupun buktinya tidak terlihat secara fisik.
Validasi kehamilan dilakukan berulang-ulang saat wanita mulai memeriksa dengan cermat setiap perubahan tubuh yang merupakan bukti adanya kehamilan.
Hasrat seksual pada trimester pertama sangat bervariasi antara wanita yang satu dan yang lain. Meski beberapa wanita mengalami peningkatan hasrat seksual, tetapi secara umum trimester pertama merupakan waktu terjadinya penurunan libido dan hal ini memerlukan komunikasi yang jujur dan terbuka terhadap pasangan masing-masing.
Banyak wanita merasakan kebutuhan kasih sayang yang besar dan cinta kasih tanpa seks. Libido secara umum sangat besar dipengaruhi oleh keletihan, nausea, depresi, payudara yang membesar dan nyeri, kecemasan, kekhawatiran, dan masalah-masalah lain yang merupakan hal yang normal terjadi pada trimester pertama. (1)
2.2 Adaptasi Psikologi Kehamilan Trimester Kedua
Trimester kedua sering dikenal sebagai periode kesehatan yang baik (radian health), yakni periode ketika wanita merasa nyaman dan bebas dari segala ketidaknyamanan yang normal dialami saat hamil. Namun, trimester kedua juga merupakan fase ketika wanita menelusur ke dalam dan paling banyak mengalami kemunduran. Selama periode ini wanita sudah mengharapkan bayi. Dengan adanya gerakan janin, rahim yang semakin membesar, terlihatnya gerakan bayi saat di USG semakin meyakinkan dia bahwa bayinya ada dan dia sedang hamil. Ibu menyadari bahwa bayinya adalah individu yang terpisah dari dirinya oleh karena itu sekarang ia lebih fokus memperhatikan bayinya. Ibu sudah menerima kehamilannya dan mulai dapat menggunakan energi dan pikirannya secara lebih konstruktif. Sebelum adanya gerakan janin ia berusaha terlihat sebagai ibu yang baik, dan dengan adanya gerakan janinia menyadari identitasnya sebagai ibu. Trimester kedua sebenarnya terbagi atas dua fase, yaitu pra-quickening dan pasca-quickening. Quickening menunjukkan kenyataan adanya kehidupan yang terpisah, yang menjadi dorongan bagi wanita dalam melaksanakan tugas psikologis utamanya pada trimester kedua, yakni mengembangkan identitas sebagai ibu bagi dirinya sendiri, yang bebeda dari ibunya. (1)
Menjelang akhir trimester pertama dan selama porsi pra-quickening trimester kedua berlangsung, wanita tersebut akan mengalami lagi, sekaligus mengevaluasi kembali, semua aspek hubungan yang ia jalani dengan ibunya sendiri. Wanita tersebut mencermati semua perasaan ini dan menghidupkan kembali beberapa hal yang mendasar bagi dirinya. Semua masalah interpersonal yang dahulu pernah dialami oleh wanita dan ibunya, atau mungkin masih dirasakan hingga kini, dianalisis. Potensial kemungkinan timbulnya masalah interpersonal pada hubungan ibu dan anak sebaiknya dikaji. Dengan pengkajian ini, akan muncul suatu pengertian dan penerimaan terhadap kualitas-kualitas yang dimiliki ibu, yakni kualitas yang ia hargai dan hormati. Kualitas lain, yakni kualitas yang negative dan tidak diinginkan atau tidak dihargainya, dapat ia tolak. Penolakan ini dapat menimbulkan perasaan bersalahdan konflik personal kecuali wanita tersebut memahami bahwa proses ini normaldan bahwa penolakan terhadap kualitas tertentu yang ada pada ibunya, dalam ia mengembangkan identitas keibuannya sendiri, tidak berarti ia menolak ibunya sebagai pribadi. (4)
Hal lain yang terdapat dalam proses ini ialah evolusi wanita tersebut mulai dari menjadi seorang penerima kasih sayang dan perhatian (dari ibunya) kemudian menjadi pemberi kasih saying dan perhatian (persiapan untuk menjadi seorang ibu). Ia akan mengalami konflik berupa kompetisi dengan ibunya agar dapat terlihat sebagai ibu yang “baik”. Penyelesaian aktual dalam konflik ini tidak akan berlarut-larut sampai lama setelah bayi dilahirkan, tetapi perhatian wanita hamil terhadap ibunya dan proses-proses yang berkaitan dengan hal tersebut akan berakhir setelah terjadi perubahan identitas dirinya sendiri menjadi pemberi kasih sayang. Pada saat yang sama ia juga menjadi penerima kasih sayang, menuntut perhatian dan cinta kasih, yang akibatnya, ia simpan bagi bayinya sesuai dalam perannya sebagai pemberi kasih sayang. (1)
Dengan timbulnya quickening, muncul sejumlah perubahan karena kehamilan telah menjadi jelas dalam pikirannya. Kontak sosialnya berubah. Ia lebih banyak bersosialisasi dengan wanita hamil atau ibu baru lainnya, dan minat serta aktivitasnya berfokus pada kehamilan, cara membesarkan anak, dan persiapan untuk menerima peran yang baru. Pergeseran nilai sosial ini menimbulkan kebutuhan akan sejumlah proses duka cita, yang kemudian menjadi katalis dalam memperkirakan peran barunya. Duka cita tersebut timbul karena ia harus merelakan hubungan, kedekatan dan peristiwa maupun aspek tertentu yang ia miliki dalam peran sebelumnya yang akan terpengaruh dengan hadirnya bayi dan peran barunya. Hal ini tidak berarti bahwa ia harus meninggalkan semua hubungandan ikatan yang ia miliki, tetapi yang jelas terjadi perubahan pada hubunga dan ikatan tersebut. Terkadang, seorang wanita hamil berada di lingkungan kerja tanpa seorang pun memahami kehamilannya atau orang-orang dalam kontak sosialnya tidak sedang mengandung ataupun mereka memiliki anak remaja sehingga memiliki masalah yang berbeda. Pada situasi seperti ini, wanita tersebut dapat mengalami kesulitan untuk menemukan wanita hamil lain untuk diajak berbicara dan membandingkan perubahan-perubahan fisik yang dialaminya. Memanfaatkan kesempatan, seperti bergabung dengan kelas latihan kehamilan, dapat memberi wanita tersebut kontak social baru dengan wanita hamil lain seperti yang ia harapkan. Bagi wanita multipara, hal ini mencakup terputusnya hubungan yang telah terbina dengan anak-anak lain seiring ia mempersiapkan kondisi rumah dan keluarganya untuk menyambut perubahan yang dihadirkan oleh bayi baru mereka nanti. Sebagian besar perubahan peran dan peran baru wanita tersebut diuji coba, dikembangkan dan dimurnikan dalam fantasi, imajinasi, dan angan-angan.
Quickening memudahkan wanita mengonseptualisasi bayinya sebagai individu yang terpisah dari dirinya sendiri. Kesadaran baru ini memulai perubahan dalam fokusnya dari diri sendiri kepada bayi yang ia kandung. Secara bertahap perubahan ini terlihat dari pengalaman mimpi bahwa orang lain, biasanya orang yang tidak dikenal, sedang terluka. Mimpi-mimpi ini umunya diartikan sebagai ekspresi kewaspadaan ibu mengenai ancaman terhadap bayinya. Pada saat ini jenis kelamin sang bayi bukan hal yang penting. Perhatian ibu adalah pada kesejahteraan bayi dan menyambutnya menjadi anggota keluarga.
Sebagian besar wanita merasa lebih erotis selama trimester kedua, kurang lebih 80% wanita mengalami kemajuan yang nyata dalam hubungan seksual mereka disbanding pada trimester pertama dan sebelum hamil. Trimester kedua relative terbebasdari segala ketidaknyamanan fisik, dan ukuran perut wanita belum menjadi masalah besar, lubrikasi vagina semakin banyak pada masa ini, kecemasan, kekhawatiran dan masalah-masalah yang sebelumnya menimbulkan ambivalensi pada wanita tersebut mereda, dan ia telah mengalami perubahan dari seorang menuntut kasih sayang dari ibunya menjadi seorang yang mencari kasih sayang dari pasangannya, dan semua faktor ini turut memengaruhi peningkatan libido dan kepuasan seksual. (1)
2.3 Adaptasi Psikologi Kehamilan Trimester Ketiga
Periode ini sering disebut periode penantian, menunggu dan waspada sebab pada saat itu ibu tidak sabar menunggu kelahiran bayinya, menunggu tanda-tanda persalinan. Perhatian ibu berfokus pada bayinya, gerakan janin dan membesarnya uterus mengingatkan pada bayinya. Sehingga ibu selalu waspada untuk melindungi bayinya dari bahaya, cedera dan akan menghindari orang, hal atau pun benda yang dianggapnya membahayakan bagi bayinya. Persiapan aktif dilakukan untuk menyambut kelahiran bayinya, membuat baju, menata kamar bayi, membayangkan mengasuh ataupun merawat bayi, menduga-duga akan jenis kelaminnya dan rupa bayinya.
Pada trimester III biasanya ibu merasa khawatir, takut akan kehidupan dirinya, bayinya, kelainan pada bayinya, persalinan, nyeri persalinan, dan ibu tidak akan pernah tahu kapan ia akan melahirkan. Ketidaknyamanan pada trimester ini meningkat, ibu merasa dirinya aneh dan jelek, menjadi lebih ketergantungan, malas dan mudah tersinggung serta merasa menyulitkan. Disamping itu ibu merasa sedih akan berpisah dari bayinya dan kehilangan perhatian khusus yang akan diterimanya selama hamil, disinilah ibu memerlukan keterangan, dukungan dari suami, bidan dan keluarganya. (1)
Masa ini disebut juga masa krusial atau penuh kemelut untuk beberapa wanita karena ada krisis identitas, karena mereka mulai berhenti bekerja, kehilangan kontak dengan teman maupun kolega (Oakley, dalam Sweet,1999). Mereka merasa kesepian dan terisolasi di rumah. Wanita mempunyai banyak kekhawatiran seperti tindakan medikalisasi saat persalinan, perubahan body image merasa kehamilannya sangat berat, tidak praktis, kurang atraktif, takut kehilangan pasangan. Bidan harus mampu mengkaji dengan teliti dan hati-hati. Sejumlah stres yang dialami ibu hamil, mampu menilai kemampuan coping dan memberikan dukungan.(2)
2.4 Mengurangi Dampak Psikologis Ibu Hamil Trimester I, II, Dan III
A. Support Keluarga
Dukungan selama masa kehamilan sangat dibutuhkan bagi seorang wanita yang sedang hamil, terutama dari orang terdekat apalagi bagi ibu yang baru pertama kali hamil. Seorang wanita akan merasa tenang dan nyaman dengan adanya dukungan dan perhatian dari orang-orang terdekat.
1. Suami
Dukungan dan peran serta suami dalam masa kehamilan terbukti meningkatkan kesiapan ibu hamil dalam menghadapi kehamilan dan proses persalinan, bahkan juga memicu produksi ASI. Suami sebagai seorang yang paling dekat, dianggap paling tahu kebutuhan istri. Saat hamil wanita mengalami perubahan baik fisik maupun mental. Tugas penting suami yaitu memberikan perhatian dan membina hubungan baik dengan istri, sehingga istri mengkonsultasikan setiap saat dan setiap masalah yang dialaminya dalam menghadapi kesulitan-kesulitan selama mengalami kehamilan.
Keterlibatan suami sejak awal masa kehamilan, suadah pasti akan mempermudah dan meringankan pasangan dalam menjalani dan mengatasi brbagai perubahan yang terjadi pada tubuhnya akibat hadirnya sesosok “manusia mungil” di dalam perutnya.
Bahkan, keikutsertaan suami secara aktif dalam masa kehamilan, menurut sebuah penelitian yang dimuat dalam artikel berjudul “What Your Partner Might Need From You During Pregnancy” terbitan Allina Hospitals & Clinics (tahun 2001), Amerika Serikat, keberhasilan seorang istri dalam mencukupi kebutuhan ASI untuk si bayi kelak sangat ditentukan oleh seberapa besar peran dan keterlibatan suami dalam masa-masa kehamilannya.
Saat hamil merupakan saat yang sensitif bagi seorang wanita, jadi sebisa mungkin seorang suami memberikan suasana yang mendukung perasaan istri, misalnya dengan mengajak istri jalan-jalan ringan, menemahi istri ke dokter untuk memeriksakan kehamilannya serta tidak membuat masalah dalam komunikasi. Diperoleh tidaknya dukungan suami tergantung dari keintiman hubungan, ada tidaknya komunikasi yang bermakna, dan ada tidaknya masalah atau kekhawatiran akan bayinya.
Menurut penelitian di Indonesia, dukungan suami yang diharapkan istri:
1. Suami sangat mendambakan bayi dalam kandungan istri.
2. Suami senang mendapat keturunan.
3. Suami menunjukkan kebahagian pada kehamilan ini.
4. Suami memperhatikan kesehatan istri yakni menanyakan keadaan istri/janin yang dikandung.
5. Suami tidak menyakiti istri.
6. Suami menghibur atau menenangkan ketika ada masalah yang dihadapi istri.
7. Suami menasihati istri agar istri tidak terlalu lelah bekerja.
8. Suami membantu tugas istri.
9. Suami berdoa untuk kesehatan istrinya dan keselamatannya.
10. Suami menungu ketika istri melahirkan.
11. Suami menunggu ketika istri di operasi. (4)
2. Keluarga
Lingkungan keluarga yang harmonis ataupun lingkungan tempat tinggal yang kondusif sangat berpengaruh terhadap keadaan emosi ibu hamil. Wanita hamil sering kali mempunyai ketergantungan terhadap orang lain disekitarnya terutama pada ibu primigravida. Keluarga harus menjadi bagian dalam mempersiapkan pasangan menjadi orang tua.
Dukungan keluarga dapat berbentuk :
a. Ayah–ibu kandung maupun mertua sangat mendukung kehamilan ini.
b. Ayah–ibu kandung maupun mertua sering berkunjung dalam periode ini.
c. Seluruh keluarga berdoa untuk keselamatan ibu dan bayi.
d. Adanya ritual adat istiadat yang memberikan arti tersendiri yang tidak boleh ditinggalkan.
3. Lingkungan
Dukungan Lingkungan Dapat Berupa :
1. Doa bersama untuk keselamatan ibu dan bayi dari ibu–ibu pengajian, perkumpulan, kegiatan yang berhubungan dengan sosial ataupun keagamaan.
2. Membicarakan dan menasehati tentang pengalamaan hamil dan melahirkan.
3. Adanya diantara mereka yang bersedia mengantarkan ibu untuk periksa.
4. Menunggui ibu ketika melahirkan.
5. Mereka dapat menjadi seperti saudara ibu hamil. (4)
B. Support Tenaga kesehatan
Tenaga kesehatan dapat memberikan peranannnya melalui dukungan :
o Aktif : melalui kelas antenatal
o Pasif : dengan memberikan kesempatan kepada ibu hamil yang mengalami masalah untuk berkonsultasi.
Tenaga kesehatan harus mampu mengenali tentang keadaan yang ada disekitar ibu hamil atau pasca bersalin, yaitu: bapak, kakak, dan pengunjung. (4)

C. Rasa Aman Nyaman Selama Kehamilan
Peran keluarga khususnya suami, sangat diperlukan bagi seorang wanita hamil. Keterlibatan dan dukungan yang diberikan suami kepada kehamilan akan mempererat hubungan antara ayah anak dan suami istri. Dukungan yang diperoleh oleh ibu hamil akan membuatnya lebih tenang dan nyaman dalam kehamilannya. Hal ini akan memberikan kehamilan yang sehat. Dukungan yang dapat diberikan oleh suami misalnya dengan mengantar ibu memeriksakan kehamilan, memenuhi keinginan ibu hamil yang ngidam, mengingatkan minum tablet besi, maupun membantu ibu melakukan kegiatan rumah tangga selama ibu hamil. Walaupun suami melakukan hal kecil namun mempunyai makna yang tinggi dalam meningkatkan keadaan psikologis ibu hamil ke arah yang lebih baik. (4)
D. Persiapan Menjadi Orang Tua
o Kehamilan dan peran sebagai orang tua dapat dianggap sebagai masa transisi atau peralihan
o Terlihat adanya peralihan yang sangat besar akibat kelahiran dan peran yang baru, serta ketidak pastian yang terjadi sampai peran yang baru ini dapat disatukan dengan anggota keluarga yang baru.
• Peran orang tua sebagai proses peralihan yang berkelanjutan :
1) Peralihan menjadi orang tua merupakan suatu proses dan bukan suatu keadaan statis
2) Berawal dari kehamilan dan merupakan kewajiban menjadi orang tua dimulai
• Peran orang tua sebagai krisis dibandingkan sebagai masa peralihan :
1) Perubahan ini dianggap suatu krisis apabila sangat hebat, sangat mengganggu dan merupakan perubahan negative.
2) Perubahan kebiasaan yang mengganggu seperti:
o Perubahan kehidupan seksual
o Pola tidur dan lain - lain
Hal- hal yang perlu diperhatikan terhadap kehadiran dari bayi baru lahir adalah:
 Temperamen.
 Cara pasangan mengartikan stres dan bantuan.
 Bagaimana mereka berkomunikasi dan mengubah peran sosial mereka.
Peralihan menjadi orang tua
Fase Penantian:
1. Berkaitan dampaknya pada kehamilan.
2. Calon orang tua perlu menyelesaikan tugasnya untuk menjadi orang tua, misalnya: pembagian tugas dalam keluarga.
3. Pasangan dalam fase ini akan mengalami perasaan yang hebat, tantangan, dan tanggung jawab.
Fase bulan madu
1. Sangat berdampak pada masa puerpurium, perlu mendapat perhatian pada asuhan kebidanannya.
2. Bersifat psikis dan bukan merupakan saat damai dan gembira.
3. Hubungan antar pasangan memiliki peran penting dalam membina hubungan baru dengan bayi.
4. Merupakan fase yang beratà adaptasi dengan anggota baru. (4)
2.5 Adaptasi Yang Terjadi Pada Seluruh Anggota Keluarga
Periode antenatal adalah suatu kondisi yang dipersiapkan secara fisik dan psikologis untuk kelahiran dan menjadi orang tua. Pada periode ini terutama perempuan yang sehat akan mencari petunjuk dan perawatan secara teratur. Kunjungan antenatal biasanya dimulai segera setelah tidak mendapat haid (menstruasi), sehingga bisa diidentifikasi diagnosis dan perawatan terhadap kelainan yang akan muncul pada ibu hamil. Perawatan didesain untuk memantau pertumbuhan dan perkembangan fetus dan ditemukan keadaan abnormal sebagai antisipasi kelahirannya. Ibu dan keluarganya membutuhkan dukungan karena stress dan proses belajar menjadi orang tua baru.
Kehamilan memengaruhi seluruh anggota keluarga dan setiap anggota harus beradaptasi, yang prosesnya bergantung kepada budaya lingkungan yang sedang menjadi trend masyarakat.


ADAPTASI MATERNAL

Wanita segala umur selama beberapa bulan kehamilannya beradaptasi untuk berperan sebagai ibu, suatu proses belajar yang kompleks secara sosial dan kognitif. Pada kehamilan awal tidak ada yang berbeda. Ketika fetusnya mulai bergerak pada trimester kedua wanita tersebut mulai menaruh perhatian pada kehamilannya dan menjalin percakapan dengan ibu nya atau teman–teman lain yang pernah hamil.
Kehamilan adalah suatu krisis yang mematangkan dan dapat menimbulkan stress tetapi imbalannya adalah wanita tersebut siap memasuki fase baru untuk bertanggung jawab dan memberi perawatan. Konsep dirinya berubah, siap menjadi orang tua, dan menyiapkan peran barunya. Secara bertahap ia berubah dari memperhatikan dirinya sendiri, punya kebebasan menjadi suatu komitmen untuk bertanggung jawab kepada makhluk lain.
Perkembangan ini membutuhkan suatu tugas perkembangan yang pasti dan tuntas yang mencakup menerima kehamilan, mengidentifikasi peran sebagai ibu, membangun kembali hubungan dengan ibunya, dengan suaminya, dengan bayi yang dikandungnya serta mempersiapkan kelahiran anaknya (Wayland&Tate, 1993; Zachariya, 1994). Dukungan suami secara emosional adalah faktor yang penting untuk keberhasilan tugas perkembangan ini.

HUBUNGAN INTERPERSONAL

Kedekatan hubungan membuat ibu hamil lebih siap berperan sebagai ibu. Pada saat anggota keluarga menyadari peran baru mereka, bisa terjadi konflik dan ketegangan. Diperlukan komunikasi yang efektif antara ibu dengan suami dan keluarganya. Komponen-komponen yang penting di sekitar ibu hamil adalah ibunya sendiri, reaksinya terhadap kehamilan anaknya, menghargai kemandirian anaknya, keberadaannya di masa lampau dan sekarang dan keinginan untuk mengenangnya.
Reaksi ibu terhadap anaknya yang mengandung penting sebagai penerimaanya sebagai nenek. Bila ibu mendukung anak bisa berdiskusi dengan ibunya tentang kehamilan, melahirkan, dan perasaanya apakah merasa senang atau ada penolakan sesuai dengan pengetahuannya. Pemikiran tentang ibu hamil dan nenek dari calon anaknya, membantu anak perempuan tersebut mengantisipasi dan mempersiapkan persalinannya dengan penuh kasih sayang. Walaupun hubungan dengan ibunya adalah penting, tetapi yang terpenting adalah suami atau ayah dari janinnya. Seorang perempuan yang berhubungan harmonis dengan suaminya akan menpunyai pengaruh emosional dan gejala fisik lebih sedikit termasuk komplikasi waktu melahirkan dan penyesuaian post partum. Ada 2 kebutuhan ibu selama hamil, perasan dicintai, nilai-nilai dan mempunyai anak dari suaminya (Richardson, 1983).

HUBUNGAN DENGAN JANIN

Hubungan ibu dengan anak dimulai selama kehamilan, ketika ibu mengkhayal dan memimpikan dirinya sebagai ibu. Ibu ingin dekat, hangat, bercerita kepada bayinya dan mencoba membayangkan adanya tangisan bayi, gangguan terhadap kurangnya kebebasan dan kegiatan mengasuh anak. Hubungan ibu dan anak berkembang dalam 3 fase selama hamil :

Fase 1
Ia menerima kenyataan biologis tentang kehamilan dengan pernyataan “saya hamil” dan menyatakan idetentang anak di dalam tubuhnya dan gambaran diri sendiri secabai berikut.
 Pikiran terpusat padadirinya
 Menyadari kenyataan dirinya hamil
 Fetus adalah bagian dari dirinya
 Fetus seolah-olah tidak nyata

Fase 2
Pada saat ini, ibu merasakan sebagai berikut.
 Menerima tumbuhnya fetus yang merupakan makhluk yang berbeda dengan dirinya (pada bulan kelima).
 Timbul pernyataan ”saya akan mempunya seorang bayi”.
 Tumbuh kesadaran bahwa bayinya adalah makhluk lain yang terpisah dari tubuhnya.
 Terlibatdalam hubungan ibu anak, asuhan dan tanggung jawab.
 Mengembangkan kelekatan atau attachment. Perempuan yang menyukai kehamilannya dan direncanakan akan senang dengan kehamilannya, merasa lekat dengan bayinya yang dimulai lebih awal daripada perempuan lain (Koniak-Griffin, 1988).


Fase 3
Ini adalah proses kelekatan dan ibu merasakan sebagai berikut.
 Merasa realistik.
 Mempersiapkan kelahiran.
 Persiapan menjadi orang tua.
 Spekulasi mengenai jenis kelamin anak.
 Keluarga berinteraksi dengan menempelkan telinganya ke perut ibu dan berbicara dengan fetus.

Cemas
Cemas adalah suatu emosi yang sejak dulu dihubungkan dengan kehamilan, yang hubungan ini tidak jelas. Cemas mungkin emosi positif sebagai perlindungan menghadapi stresor, yang bisa menjadi masalah apabila berlebihan. Bidan perlu memastikan:
1. Apakah cemas pada ibu hamil benar-benar timbul.
2. Apakah cemas bisa menjadi stres.
3. Apakah menurunkan kecemasan pada kehamilan bisa menguntungkan atau bahkan tidak perlu.

Banyak penelitian terhadap tingkat kecemasan yang telah dilakukan, antara lain perbandingan tingkat kecemasan pada ibu hamil lebih tinggi pada ibu hamil dan menurun pada ibu postpartum (Sing & Saxena, 1991). Barclay & Barclay (1976) menemukan bahwa peningkatan pengetahuan tidak menurunkan kecemasan dan juga ditemukan bahwa perempuan yang tidak hamil menunjukkan tingkat depresi yang lebih besar pada kehamilan daripada hasil pemantauan pada ibu hamil itu sendiri.
Penelitian secara umum memperlihatkan bahwa intervensi pada kecemasan mempunyai efek yang menguntungkan (Ridgeway&Matthews, 1981; Wallace,1984) sebagai berikut:
1. Persiapan untuk kecemasan
 Antisipasi
 Pendidikan
 Pengetahuan
 Strategi
2. Penurunan kecemasan
 Psikologi
 Fisik
 Lingkungan
 Biologi
3. Pengawasan kecemasan
 Strategi koping
 Pendekatan
4. Penghilangan stresor
 Menghindari
 Memeriksa kembali prosedur dan protokol
5. Penghilangan persepsi
 Pengobatan
 Relaksasi
 Distraksi
Secara individu cemas dapat menggangu, Cohens et al.(1989) menyatakan bahwa seseorang perempuan yang panik dapat mengalami abrupsio plasenta. Menurut Reading (1983), faktor-faktor yang dapat mengurangi efek dari kecemasan adalah pengobatan kecemasan, sikap menghadapi kecemasan, penilaian kecemasan, dukungan psikososial, dan strategi koping. Intervensi bisa dilakukan untuk faktor-faktor tersebut. Stress yang berkelanjutan dapat meningkatkan perilaku yang negatif misalnya merokok atau minum alkohol. (6)

ADAPTASI AYAH
Ayah seringkali kelihatan ”standar” sebagai pengamat istrinya hamil. Ia diperlukan waktu konsepsi, membayar biaya, dan menyiapkan penuntun untuk matangnya anak. Sekarang pandangan tersebut telah berubah dan seorang ayah sekarang diharapkan berperan secara penuh merawat, terlibat sebagai ayah, dan pemberi nafkah sebagai respons tekanan masyarakat. Pengaruh dari perubahan feminisme dan tekanan ekonomi menyebabkan lebih banyak perempuan bekerja di luar rumah dan berbagi peran sebagai orang tua. Pada pria terjadi perasaan menolak. Perasaan ini yang tergantung dari banyak faktor, misalnya apakah kehamilan itu direncanakan, bagaimana hubungan laki-laki tersebut dengan istrinya/pasangannya, pengalaman sebelumnya dengan kehamilan, umur, dan kestabilan ekonominya.
Sumber Stres Ayah
Seorang ayah mengalami stres dalam transisi menjadi orang tua, yang disebabkan oleh:
1. Masalah keuangan.
2. Kondisi yang tidak diinginkan selama hamil.
3. Cemas bayinya tidak sehat atau normal.
4. Khawatir tentang nyeri istrinya melahirkan.
5. Peran selama melahirkan
Sumber stres yang lain adalah:
1. Perubahan hubungan dengan istri/ pasangan.
2. Hilangnya respon seksual.
3. Perubahan hubungan dengan keluarga atau teman-teman laki-lakinya.
4. Kemampuan sebagai orang tua.
Peran ayah berkembang sejalan dengan peran ibu. Secara umum, ayah yang stres menyukai anak-anak, senang berperan sebagai ayah, dan senang mengasuh anak, percaya diri dan mampu menjadi ayah, membagi pengalaman tentang kehamilan dan melahirkan dengan pasangannya (Jordan, 1990).
Perkembangan pengalaman ayah dibagi sesuai fase-fase dalam kehamilan istrinya.

Trimester I
1. Setelah mengetahui istrinya hamil, ia akan memberi tahu teman-teman dan relasinya kabar gembira tersebut.
2. Sering bingung terhadap perubahan perasaan istrinya, termasuk perubahan tubuhnya. Ia memperhatikan kebutuhan istrinya yang mudah lelah dan menurunnya keinginan hubungan seksual istrinya.
3. Saat ini, anaknya adalah bayi yang ”potensial”. Ayah sering dibayangkan berinteraksi dengan anaknya yang dibayangkan berumur 5 atau 6 tahun, walaupun kehamilan istrinya belum kelihatan (Jordan, 1990).
Trimester II
1. Peran ayah pada saat ini masih samar-samar, tetapi keterbatasannya meningkat dengan melihat dan merasakan gerakan fetus.
2. Ayah menjadi lebih nyaman dengan peran barunya. Dengan melihat anaknya pada USG adalah pengalaman yang penting dalam menerima kenyataan istrinya hamil.
3. Seorang ayah ingin meniru atau membuang perilaku sebagai ayah sesuai keinginannya. Bisa juga timbul konflik pda pasangan tentang bagaimana menjadi ayah. Dalam peran ayah sebagai pencari nafkah yang oleh istrinya ditambah dengan terlibat secara aktif dalam mempersiapkan perawatan anak, maka stresnya akan meningkat. Untuk itu perlu persetujuan bersama pembagian peran (Diemer, 1997). Di satu sisi ibu ingin dominan, di sisi lain ayah ingin lebih banyak menghabiskan waktunya bekerja, melakukan hobinya atau dengan teman-temannya.

Trimester III
Bila pasangan mampu berkomunikasi dengan baik trimester III ini adalah waktu yang khusus dengan gambaran yang jelas tentang perannya, dan mempersiapkan bersama kondisi ke depan.
1. Terlibat dalam kelas bersama, pendidikan kesehatan tentang melahirkan.
2. Persiapan yang nyata untuk kelahiran bayi.
3. Perannya menjadi jelas.
4. Timbul rasa takut.
5. Timbul pertanyaan, menjadi orang tua seperti apa.
6. Dapatkah ia membantu istrinya melahirkan.
7. Apakah mereka akan mempunyai bayi.

Cauvade
Secara tradisional, cauvade adalah ritual atau tabu oleh laki-laki dalam transisi menjadi ayah. Ini berhubungan secara biofisik dan psikososial dengan istri dan anak. Misalnya, dilarang makan makanan tertentu, dilarang membawa senjata sebelum anaknya lahir, timbul gejala-gejala fisik berupa lelah, nafsu makan meningkat, susah tidur, depresi, sakit kepala, sakit punggung. Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang memperlihatkan sindrom cauvade, ingin mempersiapkan peran sebagai ayah yang lebih tinggi dan terlihat lebih aktif dalam persiapan mempunyai anak (Longobucco & Freston, 1989).
Saudara kandung
Saudara kandung perlu dipersiapkan terhadap kedatangan adiknya, karena bisa menimbulkan perasaan bersaing (sibling rivalry). Sibling rivalry timbul karena anak-anak takut perhatian orang tuanya berubah. Pencegahan kondisi ini dapat dilakukan dengan cara:
1. Anak diberi tahu sejak awal kehamilan.
2. Anak todler diberi kesempatan merasakan bayinya bergerak dalam rahim dan dijelaskan bahwa rahim adalah tempat khusus bayi tumbuh.
3. Anak dapat membantu mengatur baju bayi di laci atau menyiapkan tempat tidur bayi dan kamar bayi.
4. Bantu anak menyesuaikan diri pada perubahan ini.
5. Kenalkan anak dengan bayi, sehingga anak tidak membayangkan adiknya akan cukup besar untuk diajak bermain.
6. Mengajak anak ke tempat periksa hamil, diberi kesempatan mendengarkan denyut jantung janin.(6)
2.6 Peran dan Keterampilan Bidan Dalam Dukungan Psikologis
Bidan harus memahami berbagai perubahan psikologis yang terjadi pada ibu hamil untuk setiap trimester agar asuhan yang diberikan tepat sesuai kebutuhan ibu. Hal ini diperlukan ketelitian dan kehati-hatian bidan untuk mengkaji atau menilai kondisi psikologi seorang wanita hamil tidak hanya aspek fisik saja. Memfasilitasi wanita agar mau terbuka berkomunikasi baik dengan suami, keluarga ataupun bidan.
Dukungan psikososial selama kehamilan telah menunjukkan secara signifikan dapat meningkatkan kesejahteraan emosi. Dukungan psikososial dalam hal ini, (Cobb, 1976) mendefinisikan dukungan psikososial sebagai informasi yang membawa seseorang untuk mempercayai bahwa dirinya diperhatikan, dicintai dan dihargai. Menurut Schumaker dan Brownell (1984) dukungan psikososial adalah pertukaran sumber informasi antara minimal 2 individu, yang terdiri dari provider dan resipien dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan resipien.
Dukungan psikososial ini akan melingdungi atau mengurangi efek negatif dari faktor resiko psikososial, Clupepper, Jack (1993) membagi resiko psikososial menjadi 3 yaitu:
1. Karakteristik sosial atau demografi: usia tua, muda, kurang pendidikan, rumah yang tidak layak huni,
2. Faktor psikoligis: stress. Gelisah dengan riwayat atau sedang mengalami gangguan psikologis, dan
3. Kebiasaan hidup yang merugikan kesehatan: merokok, suka mabuk, pemakaian obat-obatan, obesitas, terlalu kurus.
Adapun jenis dukungan psikososial yang dapat diberikan berupa esteem support (dukungan untuk meningkatkan kepercayaan diri), informational support, tangible support (sarana fisik) dan perkumpulan sosial. Power et al (1988) membagi dukungan sosial menjadi 2 :
1. Emotional support: semua yang dapat meyakinkan atau menjamin kedekatan dan pengetahuan bahwa dia dicintai, diperhatikan dan diterima serta nasihat, saran yang diberikan dapat dapat menimbulkan kepercayaan diri.
2. Practical support: meliputi semua aspek bantuan yang bertujuan membentuk individu dari sebuah masalah berupa kegiatan fisik (action) seperti meminjamkan uang, membantu tugasnya yang tidak bisa dikerjakan sendiri.(4)
Rogers (1980) mengidentifikasi 3 unsur dasar untuk melakukan pendekatan konseling yang berpusat pada individu, yakni kehangatan, ketulusan, dan pemahaman yang bersifat empati:
1. Kehangatan melibatkan sikap yang dapat didekati dan terbuka, memperlakukan individu lain dengan penghargaan yang sama, tidak menghakimi.
2. Ketulusan adalah tentang menunjukkan rasa ketertarikan yang tulus pada individu lain.
3. Empati adalah suatu respons yang memperlihatkan bahwa konselor (atau bidan) telah mempersepsikan perasaan-perasaan individu lain secara akurat dan mengomunikasikan pemahaman ini kepada mereka. (2)
Bidan harus mampu mengidentifikasi sumber dukungan yang ada disekitar ibu, mempelajari keadaan lingkungan ibu, keluarga, ekonomi, pekerjaan sehari-hari. Perlu dipahami bahwa sumber dukungan psikososial yang paling besar pengaruhnya pada individu adalah orang yang terdekat bagi mereka seperti pasangan, teman baik, kerabat.(4)


Daftar Pustaka
1. Varney, Helen. 2006. Buku Ajar Asuhan Kebidanan Volume I. Jakarta: EGC.
2. Henderson, Christine. 2005. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC.
3. Purwandari, Atik. 2008. Konsep Kebidanan Sejarah dan Profesionalisme. Jakarta: EGC.
4. http://the2w.blogspot.com/2009/05/kebutuhan-psikologi-ibu-hamil-trimester.html. Kebutuhan Psikologi Ibu Hamil Trimester I, II, III. Ditulis oleh Dwi diposkan Sabtu, 23 Mei 2009.

Senin, 08 Februari 2010

Gangguan Alat Reproduksi Wanita Akibat Kelainan Kromosom

Gangguan Alat Reproduksi Pada Wanita
1. Etiologi
Pseudohermapdroditism wanita (juga disebut virilization atau overvirilized 46, XX intersex) disebabkan oleh penekanan pada hormon laki-laki tingkat tinggi. Penyebab paling umum adalah melebarnya kelenjar adrenal (congenital adrenal hyperlapsia) yang menghasilkan hormon laki-laki secara berlebihan karena sebuah enzim yang hilang. Hormon laki-laki tidak bisa digantikan dengan hormon wanita yang terjadi pada wanita normal. Kadangkala, hormon laki-laki masuk ke plasenta dari darah si ibu ; misalnya, si ibu habis diberikan obat-obatan seperti progesterone untuk mencegah keguguran, (beberapa progesterone dirubah menjadi testosteron hormon laki-laki dengan janin tersebut) atau si ibu mendapatkan hormon yang dihasilkan tumor, meskipun begitu hal ini lebih jarang terjadi. (2)


Perkembangan janin, baik pria maupun wanita, pada awalnya sama. Sampai sekitar minggu ke-4 gestasi, janin berada dalam keadaan belum berdiferensiasi secara seksual. Setelah fase ini, proses diferensiasi mulai berjalan akibat pengaktifan gen, biasanya ditemukan hanya di kromosom Y (Sinclair et al, 1990). Gen ini dikenal sebagai gen SRY (sex determining region of Y). Apabila tidak diaktifkan (walaupun genotipnya adalah XY), gen ini akan berkembang bentuk morfologis wanita. Kadang-kadang gen SRY mengalami translokasi ke gen X sehingga apabila gen ini teraktifkan, terbentuk morfologi pria dari genotip XX.
Jumlah kromosom seks yang abnormal sering masih memungkinkan perkembangan janin sehingga terjadi dengan frekuensi kelahiran yang relative tinggi. Apabila ada tambahan satu atau lebih kromosom X, seperti pada sinrom Klinefelter (47 kromosom XXY), janin akan berdiferensiasi sesuai jalur pria karena terdapat kromosom Y. tidak adanya kromosom Y, seperti pada perkembangan wanita normal (XX) atau sinrom Turner (45 kromoso, X0, 0= tidak adanya kromosom seks), akan menyebabkan janin berkembang menjadi wanita.
Faktor yang mengaktifkan gen SRY masih belum diketahui, namun efek gen ini berlangsung melalui pengaruhnya pada produksi androgen. Efek hormon ini pada diferensiasi dan perkembangan jaringan menyebabkan dimorfisme seksual pria selama fase embrionik. Selama fase embrionik, tanpa adanya aktivitas endokrin akan berkembang bentuk wanita. Dengan demikian, janin dengan gen pria dapat membentuk karakteristik wanita apabila gen SRY tidak diaktifkan atau tidak ada.


Faktor penentu jenis kelamin: pengaktifan dan pengaruh gen SRY. Pengaktifan gen ini memicu sejumlah pengaruh endokrin yang menentukan morfologi pria. Tanpa adanya pengaktifan gen SRY, akan terbentuk morfologi wanita di bawah pengaruh genetik.

(sebenernya ini ada bagannya yg mempermudah kita untuk ngebaca) hehehehe

Perkembangan morfologi wanita
Karena kromosom X tidak mengandung gen SRY, duktus Műlleri berdiferensiasi menjadi genitalia interna wanita, tuba uterine dan fimbrie, uterus, serviks dan dua pertiga bagian atas vagina. Gonad yang belum berdiferensiasi berkembang menjadi ovarium, korteks berkembang dan medulla mengalami regresi. Ini adalh rute diferensiasi apabila tidak terdapat testosterone dan MIH. Genitalia eksterna wanita terbentuk secara independen dari pengaruh hormon apapun sehingga ovarium tidak banyak memiliki aktivitas endokrin sampai masa pubertas. Tuberkel genital menjadi klitoris dan lipatan uretra dan pembengkakan genital tetap terpisah.


Etiologi ketidakjelasan jenis kelamin saat lahir: A. Feminisme testis- insensitivitas terhadap androgen; B. Sindrom androgenital-kelebihan androgen; C. Sindrom duktus Műlleri-insensitivitas terhadap MIH.
(ini jugaada bagannya harusnya)
aduuuh ...
gimana sih cara masukin bagan atau tabel .... hmmmmm...



sumber:
Coad, Jane dkk. 2005. Anatomi dan Fisiologi Untuk Bidan. Jakarta: EGC

Minggu, 24 Januari 2010

Pendidikan Seks Remaja

Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk hidup, karena dengan seks makhluk hidup dapat terus bertahan menjaga kelestarian keturunannya.

Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka sendiri (Handbook of Adolecent psychology, 1980). Tentu saja hal tersebut akan sangat berbahaya bagi perkembangan jiwa remaja bila ia tidak memiliki pengetahuan dan informasi yang tepat. Fakta menunjukkan bahwa sebagian besar remaja kita tidak mengetahui dampak dari perilaku seksual yang mereka lakukan, seringkali remaja sangat tidak matang untuk melakukan hubungan seksual terlebih lagi jika harus menanggung resiko dari hubungan seksual tersebut.

Karena meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan sedang berada dalam potensi seksual yang aktif, maka remaja berusaha mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Dari sumber informasi yang berhasil mereka dapatkan, pada umumnya hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk beluk seksual dari orang tuanya. Oleh karena itu remaja mencari atau mendapatkan dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh, misalnya seperti di sekolah atau perguruan tinggi, membahas dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, media massa atau internet.

Memasuki Milenium baru ini sudah selayaknya bila orang tua dan kaum pendidik bersikap lebih tanggap dalam menjaga dan mendidik anak dan remaja agar ekstra berhati-hati terhadap gejala-gejala sosial, terutama yang berkaitan dengan masalah seksual, yang berlangsung saat ini. Seiring perkembangan yang terjadi sudah saatnya pemberian penerangan dan pengetahuan masalah seksualitas pada anak dan remaja ditingkatkan. Pandangan sebagian besar masyarakat yang menganggap seksualitas merupakan suatu hal yang alamiah, yang nantinya akan diketahui dengan sendirinya setelah mereka menikah sehingga dianggap suatu hal tabu untuk dibicarakan secara terbuka, nampaknya secara perlahan-lahan harus diubah. Sudah saatnya pandangan semacam ini harus diluruskan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan membahayakan bagi anak dan remaja sebagai generasi penerus bangsa. Remaja yang hamil di luar nikah, aborsi, dan penyakit kelamin adalah contoh dari beberapa kenyataan pahit yang sering terjadi pada remaja sebagai akibat pemahaman yang keliru mengenai seksualitas.(1)


2.1 Pengertian Remaja(2)

Remaja didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat.

1. Menurut WHO (badan PBB untuk kesehatan dunia) batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun.

2. Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi remaja yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin.

3. Sementara itu, menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi) batasan usia remaja adalah 10 sampai 21 tahun.

Kesimpulannya remaja adalah seseorang yang beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dengan batasan usia dari usia 10 tahun sampai dengan 21 tahun dan belum menikah.

2.2 Pendidikan Seksual (1),(3),(4)

Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex instruction dan education in seksuality.

· Sex Intruction

Ialah penerangan mengenai anatomi dan biologi dari sistim reproduksi, termasuk pembinaan keluarga dan metode-metode kontrasepsi.

· Education in sexuality

Meliputi bidang-bidang etik, moral fisiologi, ekonomi dan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang dibutuhkan sesorang untuk dapat memahami sebagai individu seksual, serta untuk mengadakan hubungan interpersonal yang baik.

Pada dasarnya pendidikan seks meliputi bidang :

1. Biologi dan fisiologi, yaitu mengenai fungsi reproduktif

2. Etik, yaitu menyangkut kebahagian itu sendiri

3. Moral, yang mengenai hubungan dengan orang lain. Misalnya dengan partnernya dan dengan anak- anaknya.

4. Sosiologi, mengenai pembentukan keluarga.

Sex intruction tanpa education in sexuality dapat menyebabkan promiscuity serta hubungan-hubungan seks yang tidak bertanggung jawab. Memberikan pendidikan seks pada remaja, maksudnya membimbing dan menjelaskan tentang perubahan fungsi organ seksual sebagai tahapan yang harus dilalui dalam kehidupan manusia. Cara- cara yang dapat digunakan misalnya dengan mengajak berdiskusi masalah seks yang ingin diketahui remaja tersebut.

Menurut Sarlito dalam bukunya Psikologi Remaja (1994), secara umum pendidikan seksual adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar, yang meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan aspek-aspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan. Masalah pendidikan seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, apa yang dilarang, apa yang dilazimkan dan bagaimana melakukannya tanpa melanggar aturan-aturan yang berlaku di masyarakat.

Pendidikan seksual merupakan cara pengajaran atau pendidikan yang dapat menolong muda-mudi untuk menghadapi masalah hidup yang bersumber pada dorongan seksual. Dengan demikian pendidikan seksual ini bermaksud untuk menerangkan segala hal yang berhubungan dengan seks dan seksualitas dalam bentuk yang wajar. Menurut Singgih, D. Gunarsa, penyampaian materi pendidikan seksual ini seharusnya diberikan sejak dini ketika anak sudah mulai bertanya tentang perbedaan kelamin antara dirinya dan orang lain, berkesinambungan dan bertahap, disesuaikan dengan kebutuhan dan umur anak serta daya tangkap anak (dalam Psikologi praktis, anak, remaja dan keluarga, 1991).

Dalam hal ini pendidikan seksual idealnya diberikan pertama kali oleh orangtua di rumah, mengingat yang paling tahu keadaan anak adalah orangtuanya sendiri. Tetapi sayangnya di Indonesia tidak semua orangtua mau terbuka terhadap anak di dalam membicarakan permasalahan seksual. Selain itu tingkat sosial ekonomi maupun tingkat pendidikan yang heterogen di Indonesia menyebabkan ada orang tua yang mau dan mampu memberikan penerangan tentang seks tetapi lebih banyak yang tidak mampu dan tidak memahami permasalahan tersebut. Dalam hal ini maka sebenarnya peran dunia pendidikan sangatlah besar.

Ada 6 prinsip dasar yang harus termuat dalam pendidikan seks, antara lain;

1. Perkembangan manusia; anatomi, reproduksi dan fisiologi.

2. Hubungan antar manusia; keluarga, teman, pacaran, dan perkawinan.

3. Kemampuan personal; nilai, pengambilan keputusan, komunikasi, dan negosiasi.

4. Perilaku seksual; abstinence (puasa seks) dan perilaku seks lain.

5. Kesehatan seksual, meliputi: kontrasepsi, pencegahan Penyakit Menular Seksual (PMS), AIDS, aborsi, dan kekerasan seksual.

6. Budaya dan masyarakat; peran gender, seksualitas dan agama.

Dengan adanya pendidikan seks bagi remaja, diharapkan remaja dapat menempatkan seks pada perspektif yang tepat, dan mencoba mengubah anggapan negatif tentang seks.

2.3 Tujuan Pendidikan Seksual(1),(5)

Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga.

Menurut Kartono Mohamad pendidikan seksual yang baik mempunyai tujuan membina keluarga dan menjadi orang tua yang bertanggungjawab (dalam Diskusi Panel Islam Dan Pendidikan Seks Bagi Remaja, 1991). Beberapa ahli mengatakan pendidikan seksual yang baik harus dilengkapi dengan pendidikan etika, pendidikan tentang hubungan antar sesama manusia baik dalam hubungan keluarga maupun di dalam masyarakat. Juga dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan seksual adalah bukan untuk menimbulkan rasa ingin tahu dan ingin mencoba hubungan seksual antara remaja, tetapi ingin menyiapkan agar remaja tahu tentang seksualitas dan akibat-akibatnya bila dilakukan tanpa mematuhi aturan hukum, agama dan adat istiadat serta kesiapan mental dan material seseorang. Selain itu pendidikan seksual juga bertujuan untuk memberikan pengetahuan dan mendidik anak agar berperilaku yang baik dalam hal seksual, sesuai dengan norma agama, sosial dan kesusilaan (Tirto Husodo, Seksualitet dalam mengenal dunia remaja, 1987)

Penjabaran tujuan pendidikan seksual dengan lebih lengkap sebagai berikut :

1. Memberikan pengertian yang memadai mengenai perubahan fisik, mental dan proses kematangan emosional yang berkaitan dengan masalah seksual pada remaja.

2. Mengurangi ketakutan dan kecemasan sehubungan dengan perkembangan dan penyesuaian seksual (peran, tuntutan dan tanggungjawab)

3. Membentuk sikap dan memberikan pengertian terhadap seks dalam semua manifestasi yang bervariasi.

4. Memberikan pengertian bahwa hubungan antara manusia dapat membawa kepuasan pada kedua individu dan kehidupan keluarga.

5. Memberikan pengertian mengenai kebutuhan nilai moral yang esensial untuk memberikan dasar yang rasional dalam membuat keputusan berhubungan dengan perilaku seksual.

6. Memberikan pengetahuan tentang kesalahan dan penyimpangan seksual agar individu dapat menjaga diri dan melawan eksploitasi yang dapat mengganggu kesehatan fisik dan mentalnya.

7. Untuk mengurangi prostitusi, ketakutan terhadap seksual yang tidak rasional dan eksplorasi seks yang berlebihan.

8. Memberikan pengertian dan kondisi yang dapat membuat individu melakukan aktivitas seksual secara efektif dan kreatif dalam berbagai peran, misalnya sebagai istri atau suami, orang tua, anggota masyarakat.

Jadi tujuan pendidikan seksual adalah untuk membentuk suatu sikap emosional yang sehat terhadap masalah seksual dan membimbing anak dan remaja ke arah hidup dewasa yang sehat dan bertanggung jawab terhadap kehidupan seksualnya. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak menganggap seks itu suatu yang menjijikan dan kotor. Tetapi lebih sebagai bawaan manusia, yang merupakan anugrah Tuhan dan berfungsi penting untuk kelanggengan kehidupan manusia, dan supaya anak-anak itu bisa belajar menghargai kemampuan seksualnya dan hanya menyalurkan dorongan tersebut untuk tujuan tertentu dan pada waktu yang tertentu saja.

2.4 Pendidikan Seks pada Remaja(5)

Dorongan atau hasrat untuk melakukan hubungan seksual selalu muncul pada remaja, oleh karena itu bila tidak ada penyaluran yang sesuai (menikah) maka harus dilakukan usaha untuk memberi pengertian dan pengetahuan mengenai hal tersebut.

Adapun faktor-faktor yang dianggap berperan dalam munculnya permasalahan seksual pada remaja, menurut Sarlito W. Sarwono (Psikologi Remaja,1994) adalah sebagai berikut :

1. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu.

2. Penyaluran tersebut tidak dapat segera dilakukan karena adanya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena adanya undang-undang tentang perkawinan, maupun karena norma sosial yang semakin lama semakin menuntut persyaratan yang terus meningkat untuk perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental dan lain-lain)

3. Norma-norma agama yang berlaku, dimana seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut.

4. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media masa yang dengan teknologi yang canggih (contoh: VCD, buku stensilan, foto, majalah, dan internet) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.

5. Orangtua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.

Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
Pada dasarnya pendidikan seks untuk anak dan remaja memang perlu. Peran orang tualah yang dituntut lebih dominan untuk memperkenalkan sesuai dengan usia dan perkembangan si anak hingga beranjak dewasa.Memberikan pengetahuan pada remaja tentang resiko seks bebas, baik secara psikologis maupun emosional, serta sosial, juga akan dapat membantu agar terhindar dari pelanggaran norma yang berlaku.

2.5 Kapan Pendidikan Seks Itu Harus Diberikan (3),(4)

Pada International Conference of Sex Education and Family Planning tahun 1962 dicapai kesepakatan bahwa tujuan dari pendidikan seks adalah untuk menghasilkan manusia-manusia dewasa yang dapat menjalankan kehidupan yang bahagia karena dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungannya, serta bertanggung jawab terhadap dirinya dan terhadap orang-orang lain.

Pada zaman ini, penyesuaian dalam masyarakat sinonim dengan suatu perkawinan monogami yang berbahagia atau suatu kehidupan bahagia tanpa perkawinan dan anak. Yang kurang pentingnya dari tujuan tersebut di atas adalah berkurangnya legitimasi, VD dan kesulitan-kesulitan dalam perkawinan yang dianggap disebabkan kesulitan seksual. Bila tujuan-tujuan ini dapat dicapai maka orang akan dapat menghargai kepuasan yang didapatkan dari hubungan seks yang berdasarkan cinta dan perhatian terhadap orang lain, dan bukannya semata-mata pemuasan nafsu seks belaka.

Dalam suasanan demikian dapat dibina keluarga yang utuh serta penuh cinta kasih dan penghargaan, diman dapat dididik anak-anak yang sehat dan berbahagia. Dalam pendidikan seks dapat dibedakan antara sex instruction dan education in sexuality.

Yang dimaksud dengan sex instruction ialah penerangan mengenai anatomi dan biologi dari reproduksi, termasuk pembinaan keluarga dan metode-metode kontrasepsi. Sedangkan education in sexuality meliputi bidang-bidang etik, moral fisiologi, ekonomi dan pengetahuan-pengetahuan lainnya yang dibutuhkan seseorang untuk dapat memahami dirinya sendiri sebagai individu seksual, serta untuk mengadakan hubungan interpersonal yang baik.

Maka pada dasarnya pendidikan seks itu meliputi bidang-bidang :

1. Biologi dan fisiologi, yitu mengenai fungsi reproduktif.

2. Etik, yaitu yang menyangkut kebahagiaan orang itu sendiri.

3. Moral, yang mengenai hubungan dengan orang-orang lain misalnya dengan partnernya dan dengan anak-anaknya.

4. Sosiologi, mengenai pembentukkan keluarga.

Di sekolah-sekolah, yang dapat diberikan ialah sex instruction disertai pendidikan mengenai moral, etik, kejujuran, tanggung jawab, perlunya mempertimbangkan perasaan orang lain dalam tiap-tiap tindakan, keuntungan dari self control dan self dicipline.

Ottensen-Jensen dalam bukunya : “Handbook on sex instruction” membuat rencana pendidikan seks menurut golongan-golongan umur yaitu :

1. 7-10 tahun

Dimulai dengan memberikan fakta-fakta tentang reproduksi pada umumnya yaitu fertilisasi, perkawinan serta persalinan pada binatang-binatang (ayam/kambing). Kemudian tentang konsepsi pada manusia, bersatunya sel telur dari ibu dengan sel mani dari ayah.

2. 11-13 tahun

Diberikan embriologi alat kelamin dalam, anatomi dan terjadinya tanda-tanda kelamin sekunder, menstruasi, uraian yang mendetail dari konsepsi, pertumbuhan fetus dan persalinan. Juga tentang homosexuality, exhibitionisme, pedophilia serta perkosaan. Hal-hal ini sebaiknya dijelaskan hanya bila mereka menanyakannya. Harus diberikan nasihat pada anak-anak supaya jangan mau ikut dengan orang yang tidak dikenal karena kemungkinan penculikan. Mengenai seks yang abnormal tidak perlu dijelaskan. Masturbasi dalam masa akil baligh adalah biasa dan akan berkurang/menghilang bila dewasa. Keterangan-keterangan tersebut di atas lebih baik digambar di papan tulis daripada dipertunjukan dengan slides. Pertunjukan film hanya diberikan bila tidak ada guru yang dipercaya oleh murid-murid untuik memberikan penerangan secara langsung. Pada murid-murid diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang boleh ditulis secara anonim.

3. 14-16 tahun

Diberikan diskusi tentang sexual intercourse, promiscuity, illegitimasi dan VD. Pada taraf ini diterangkan aspek sosial dari hubungan seks yaitu tanggung jawab terhadap partnernya, terhadap anak yang mungkin dilahirkan dan terhadap lingkungannya (masyarakat). Hubungan seks sebagai suatu tindakan yang berdasarkan perasaan saling mencintai dan saling menghargai harus ditekankan. Diskusi mengenai rumah tangga dan keluarga sebagai dasar dari suatu masyarakat, akan menjadi bahan pertimbangan dalam menilai premarital intercourse. Banyak bukti menunjukkan bahwa suatu keluarga yang bahagia ialah tempat yang terbaik untuk mendidik anak. Pada umur ini juga harus ditekankan pada mereka bahwa sexual intercourse berarti juga kesediaan untuk menerima tanggung jawab dari tindakan itu, yaitu terhadap manusia baru yang dihasilkan dari hubungan tersebut. Tanggung jawab ini memerlukan kematangan emosionil, pekerjaan fisik serta tanggung jawab finansial.

Adapun pendapat lain yang mengatakan bahwa pendidikan seks harus sudah diberikan pada anak-anak usia 3-4 tahun. Mereka akan memperhatikan badannya sendiri dan orang-orang sekitar dan lalu mereka akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti :

§ Ibu dan ayah dalam beberapa hal berbeda jasmaninya

§ Mulai menanyakan genitalianya

§ Dari mana bayi datang

§ Dari mana bayi keluar waktu lahir

§ Mengapa wanita punya buah dada

Mereka akan bertanya hal-hal seperti tersebut diatas. Dan orang tua atau keluarganya jangan menangguhkan jawabannya.

Dari hasil-hasil research yang dilakukan di Rusia dan Swedia dapoat diambil kesimpulan bahwa pendidikan sex dan fungsi reproduktif sebaiknya diberikan juga dirumah oleh orang tua disertai dengan contoh yang baik mengenai cinta dan saling menghargai antara kedua orang tua.

2.6 Mengapa Diperlukan Pendidikan Seks

Pada suatu survey di sekolah menengah yang baru-baru ini dilakukan di USA, Mc Carry mendapatkan bahwa kebanyakan dari murid-murid tersebutkan melontarkan kritik terhadap orang tua karena tidak pernah memberikan penerangan seks kepada anak-anaknya. Dua per tiga dari mereka sama sekali tidak mendapatkan penerangan apa-apa, sedangkan sisanya hanya mendapatkan penerangan sekedarnya.

Pengetahuan anak-anak muda tentang seks biasanya didapatkan dari kawan-kawan seumur melalui lelucon-lelucon yang kotor dan cabul, sehingga sering timbul anggapan yang salah atau emosi yang negatif.

Banyak orang yang terhambat mengetahui fakta-fakta sebenarnya tentang human sexuality, sehingga tak dapat menolong mereka pada masa-masa permulaan dari penyesuaian dalam kehidupan seks. Sebagai contohnya dapat dikemukakan bahwa 2/3 dari anak laki-laki ternyata telah mengetahui tentang hubungan seks sebelum orang tua mereka menerangkan. Pada survey lain juga ditemukan bahwa 70% wanita mendapatkan keterangan (terutama dari ibunya) bahwa seks itu kotor.

Mengapa sampai didapatkan hal-hal seperti di atas, keterangannya sebetulnya mudah. Para orang tua sendiri juga dipenuhi perasaan malu dan bersalah mengenai seks, sehingga mereka pun tidak mempunyai pegangan dalam hal sexuality dan sexual behaviour.

Persoalannya sekarang ialah bagaimana kita dapat mendidik orang-orang muda ke arah sexual attitudes yang sehat, bilamana masyarakat dewasa pun belum mempunyai persesuaian paham dalam hal ini.

Orang-orang awam dan bahkan ahli-ahli ilmu pengetahuan, biasanya segan untuk menerima tanpa prasangka kenyataan-kenyataan yang didapatkan secara ilmiah dalam bidang human sexuality.

Pendapat-pendapat mengenai pendidikan seksnya berbeda-beda, mulai dari mereka yang menganjurkan untuk sama sekali tidak mencari pengalaman-pengalaman seks, sampai kepada mereka yang menganjurkan kebebasan seks yang seluas-luasnya.

Golongan yang menentang pendidikan seks mengharapkan bahwa dengan mengabaikannya, maka dengan sendirinya persoalan seks akan hilang. Kenyataannya, akibat dari pandangan yang demikian malahan timbul konflik seksual, perkawinan-perkawinan yang tidak berbahagia, abortus kriminalis dan sebagainya.

Ada pula yang mengajarkan bahwa seks adalah karunia dari Tuhan yang hanya boleh dilakukan untuk prokreasi. Menurut pandangan golongan ini, sexuality untuk tujuan-tujuan lainnya adalah immoral, rendah dan hanya menunjukkan nafsu kebinatangan. Mereka menolak kenyataan bahwa dorongan seks yang biologis dari seorang manusia harus mendapatkan penyaluran.

Pendapat lainnya ialah bahwa pendidikan seks dapat diberikan dengan hanya mengemukakan hal-hal nyata. Dalam hal ini seks sama sekali ditelanjangi dari sifat-sifatnya yang tertutup dan suci serta mengabaikan faktor emosi.

Menurut tanggapan golongan ini, karena seks adalah dorongan fisik maka harus dikemukakan dengan memberikan data-data fisiologis tanpa memperhatikan kenyataan bahwa aktivitas seksual lebih berharga bila dilakukan oleh orang-orang yang saling mencintai serta menghargai satu dengan yang lainnya.

Yang paling ekstrim ialah golongan yang menghendaki kebebasan seks yang seluas-luasnya bagi setiap orang, dengan syarat satu-satunya jangan menyakiti atau mengganggu orang lain. Pandangan ini tentunya menentang nilai-nilai keperawanan, monogami, serta norma-norma seks yang sudah diterima oleh masyarakat.

Aktivitas seksual dianggap hanyalah suatu permainan menyenangkan yang tidak perlu dihambat oleh perasaan malu atau bersalah, tradisi serta moralitas.

Sampai batas tertentu pendapat di atas ada baiknya, karena kebanyakan larangan-larangan yang ada sebetulnya tidak beralasan, malahan hanya menghambat pertumbuhan emosional serta kebahagiaan seseorang.

Tetapi karena manusia hidupnya selalu bermasyarakat, maka tentunya seseorang tak dapat menolak secara terang-terangan semua kode-kode etik dan moral yang sudah ada dalam masyarakatnya. Karena itu lebih bijaksana untuk mengambil sikap keluar yang mendekati atau seperti yang diharapkan oleh lingkungannya.

Kesimpulan yang dapat diambil dari hal-hal yang telah dikemukakan di atas agaknya adalah bersifat kompromistis serta selektif terhadap berbagai-bagai filsafat mengenai pendidikan seks. Kebutuhan seksual harus mendapatkan penyaluran, penerangan yang lengkap tentang segi fisiologis dan psikologis dalam lingkungan masyarakatnya harus dimengerti dan dihadapi secara realistis. Kebebasan yang relatif dalam ekspresi seksual dapat dibenarkan karena adanya perbedaan individual.

Faktor-faktor emosional dan kepribadian harus diperhatikan bila ingin mencapai kepuasan seks serta kebahagiaan yang sebesar-besarnya. Kita tidak dapat mengharapkan kaum pria serta wanita yang normal untuk mengabaikan kebutuhan serta dorongan seksnya. Memang terdapat perbedaan pandangan dalam masyarakat serta kebudayaan yang berlainan, tetapi hampir tak ada yang menyangkal bahwa kebutuhan sex itu ada dan harus disalurkan.

Dengan menolak penyaluran yang sehat dari kebutuhan-kebutuhan seks, kita sesungguhnya hanyalah mengalihkannya kepada keadaan neurosis, psikosis, gangguan kepribadian, perasaan bersalah dan sexual behaviour yang abnormal.

Albert Ellis dalam penyelidikannya mengenai pandangan masyarakat Amerika umumnya terhadap seks, cinta, perkawinan dan hubungan keluarga, mendapatkan kesimpulan bahwa pendidikan seks yang inadekuat mengakibatkan represi yang neurotis serta hambatan dalam ekspresi seksual yang normal.

Kebanyakan orang tua menyangka bila anak-anaknya tidak mempunyai pengetahuan tentang seks, mereka akan menghindarinya dan akan menjalankan kehidupan seks yang tidak tercela. Kenyataan sesungguhnya adalah kebalikannya.

Sebagai contoh misalnya : para orang tua sering tak mau memberikan penerangan tentang kontrasepsi dan VD atau hanya memberitahukan segi yang memalukan dari kehamilan di luar perkawinan serta bahaya VD dengan harapan dapat mencegah premarital coitus.

Tetapi survey dari Kinsey menyatakan bahwa hanya 44% dari wanita yang tidak kawin menghindari hubungan seks di sekolah maupun di rumah, dan bahwa ibunya tidak dapat atau tidak mau memberikan penerangan kepada anak-anaknya.

Satu dari enam pengantin wanita USA telah hamil sebelum menikah. Anehnya, kebanyakan dari kehamilan yang tidak diinginkan ini terjadi pada gadis-gadis yang taat kepada agamanya. Agaknya, meskipun ada itikad untuk tidak berbuat dosa, akhirnya mereka terbawa oleh arus emosinya sehingga melakukan hubungan seks.

WHO menyatakan bahwa yang menjadi penyebab dari sexual misadventures bukanlah pengetahuan, melainkan ketidaktahuan dalam hal seks.

Para orang tua pun mungkin tidak cukup pengetahuannya tentang seks, tetapi apa yang mereka ketahui hendaknya diterangkan kepada anak-anaknya secara jujur dan terbuka.

Sangat disayangkan bahwa kebanyakan para dokter segan untuk menanyakan atau membicarakan tentang seks. Pada umumnya pengetahuan mereka hanya terbatas pada proses reproduktif. Disamping itu, banyak pemuka-pemuka agama yang keras yang berhasil dengan baik mengindoktrinasikan kepada pengikut-pengikutnya bahwa seks adalah kotor dan bersifat kebinatangan serta harus dianggap sebagai suatu kebutuhan yang buruk. Sikap ini jelas sekali terlihat pada zaman Victorian, di mana seorang wanita baik-baik tidak akan berani mengharapkan kepuasan dalam hubungan seks. Wanita dianggap hanya memenuhi kewajiban terhadap suaminya.

Orang Jahudi zaman dahulu menganggap wanita tidak lebih dari hewan-hewan miliknya, seorang pria diperbolehkan mempunyai banyak istri atau gundik (poligami). Kemudian, karena sebagian kaum pria tidak bisa mendapatkan istri, maka secara berangsur-angsur dibuatlah peraturan-peraturan pembagian wanita yang lebih seimbang, sehingga akhirnya timbul monogami. Meskipun demikian, kedudukan serta hak-hak seorang wanita tidak mengalami perbaikan. Seorang pria dapat dengan bebas masuk ke kamar tidur pelayan-pelayan wanita, tetapi bila seorang istri melakukan perzinahan ia akan dihukum dengan dilempari batu sampai mati.

Sampai sekarang pun masih didapatkan suatu double standard dari moralitas yang berlaku bagi pria dan bagi wanita. Seorang wanita diharapkan masih suci sebelum menikah, sedang pria boleh melakukan premarital sex bahkan diharapkan sudah berpengalaman.

Kebanyakan interpretasi kuno dari hukum-hukum Nabi Musa didasarkan pada kebutuhan mempertahankan suatu suku yang besar dan kuat. Karena itu seorang pria tidak boleh membuang-buang spermanya. Coitus hanya boleh dilakukan dengan wanita yang sudah melewati hari ke-12 dari siklus menstruasinya, karena hari-hari sebelumnya dianggap tidak subur. Homosexuality antara pria dihukum dengan keras. Sedangkan lesbianisme tidak, karena tidak ada sperma yang terbuang.

Dalam genesis diceritakan tentang Onan yang diharuskan mengawini janda saudaranya Er. Tetapi karena anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan ini akan memakai nama Er., maka Onan menghindari konsepsi dengan melakukan coitus interruptus. Karena perbuatannya itu ia dihukum mati oleh Tuhan. Kemudian untuk waktu yang lama coitus interruptus dan onani disamakan dan dianggap sebagai dosa.

Dalam kitab Perjanjian Lama (The Old Testament), kaum wanita selalu dipersalahkan. Misalnya pada peristiwa Adam dan Hawa serta peristiwa Lot dengan puteri-puterinya dimana meeka dipersalahkan telah memberikan minuman keras sehingga Lot mabuk dan melakukan hubungan seks dengan mereka (incest). Dalam kenyataannya, bila seorang pria terlalu banyak minum alkohol ia tidak dapat melakukan hubungan seks.

St. Paul dalam membicarakan perihal sex menganjurkan perkawinan untuk menghindari perzinahan, tetapi berpantang seks (sexual abstinence) tetap dianggap lebih baik. Menurut St. Agustinus hubungan seks tujuannya hanya untuk mendapatkan anak. Beliau menghukum keras hubungan seks premarital extramarital, juga masturbasi, homosexuality dan bestiality.

Untuk Gereja Katolik, celibasi dan keperawanan dianggap tingkat yang tertinggi dalam kehidupan. Dalam theologi Judeo-Christian hubungan seks dalam perkawinan hanya diperbolehkan untuk prokreasi, untuk tujuan-tujuan lainnya dianggap dosa.

Dari riset di Inggris mengenai premarital seks, ternyata agama tidak memegang peranan. Kaum atheist mempunyai pengalaman seks lebih sedikit daripada mereka yang beragama Protestan atau Katolik.

Karena pada anak-anak muda diajarkan bahwa seks adalah dosa maka mereka akan mempunyai perasaan bersalah bila mengadakan hubungan seks. Hal ini dapat menyebabkan perasaan nyeri pada persetubuhan (dyspareunia), frigiditas, impotensi dan ejakulasi prematur. Dalam masa berbulan madu, seringkali seorang istri mengharapkan bimbingan dalam hubungan seks dari suaminya, bilamana si suami juga tidak mempunyai pengetahuan maka akan timbul kekecewaan dan perasaan tidak puas pada kedua belah pihak.

Untuk menentukan mana yang dianggap sexual behaviour yang normal dan mana yang dianggap abnormal memang sulit, karena adanya perbedaan-perbedaan lingkungan serta kebudayaan. Misalnya saja mengenai coitus dengan posisi lain dari pada suami di atas istri masih sering dianggap abnormal, demikian juga masturbasi petting, oral genital contact.

Di negara-negara Arab masturbasi jarang dikerjakan, homosexuality dianggap lebih diterima. Karena adanya perbedaan-perbedaan tersebut maka tiap orang harus dapat menentukan sendiri sexual behaviour yang dianggapnya cukup rasional serta bertanggung jawab terhadap partnernya dan masyarakat umumnya.

Survey dari A.H. Maslow menyatakan bahwa seorang wanita yang bersifat dominan lebih sering melakukan masturbasi, premarital seks, menjadi sukarelawati untuk sex research studies serta tidak malu-malu untuk pemeriksaan ginekologis.

Perkawinan yang memuaskan ialah di mana suami sama atau sedikit lebih dominan dari istrinya. Menurut H.L. Locke, 90% dari wanita dengan perkawinan yang bahagia menikmati seks, sedangkan dari golongan wanita yang bercerai hanya 50%.

Banyak wanita yang mengalami premenstrual tension dan dysmenorrhoe berasal dari keluarga yang tidak harmonis dan mendapat penerangan seks yang buruk dari ibunya.

2.7 Sebab Dan Akibat Pendidikan Seks Tidak Diberikan Kepada Masyarakat

Sebab pendidikan seks belum dianggap penting oleh masyarakat diantaranya dikarenakan :

1. Orang tua malu dan bersalah berbicara mengenai seks.

2. Ada pendapat yang berbeda mengenai pendidikan seks diantaranya :

- Jangan mencari pengalaman seks, dengan harapan bahwa persoalan mengenai seks akan hilang tetapi akibatnya timbul konflik sosial, perkawinan tidak bahagia, abortus kriminalis, dan sebagainya.

- Menganjurkan kebebasan seks yang seluas-luasnya, tetapi ini berarti menentang nilai-nilai keperawanan, monogami, norma-norma seks dan agama yang sudah diterima masyarakat.

Pendapat-pendapat seperti diatas yang menjadikan bahwa suatu pendidikan seks atau suatu pembicaraan mengenai seks dianggap tabu bahkan berdosa oleh sebagian masyarakat.

Dengan tidak adanya atau tidak disampaikannya pendidikan seks sejak dini akan berpengaruh terhadap perilaku seks-nya. Mereka tidak akan mengerti mengenai tanggung jawab, kejujuran, keuntungan self control, self dicipline dan antisipasi, serta pertimbangan terhadap perasaan orang lain. Orang-orang yang tidak cukup dewasa dan tidak bertanggung jawab tidak akan mungkin membentuk perkawinan dan pembentukan keluarga yang bahagia.

2.8 Peran bidan dalam memberikan pendidikan seks untuk remaja (6)

1. Pengembangan model pendidikan kesehatan seksual dan reproduksi remaja. Tujuannya adalah memberikan bekal pengetahuan pada remaja atas kesehatan reproduksi dan seksual secara benar, sehingga mereka dapat mengambil keputusan dalam menjalani hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualnya secara sehat dan bertanggungjawab.

2. Jika terjadi kasus PMS pada remaja, maka bidan harus mengobatinya sesuai dengan diagnosa

§ Suluh penderita/KIE

§ Untuk sementara tidak melakukan hubungan seks

§ Sediakan dan anjurkan pemakaian kondom

§ Kontrol ulang pada hari ke-7 jika tidak ada perbaikan

Kemudian melakukan konseling yang berisi:

§ Untuk sementara tidak melakukan hubungan seks, sampai sembuh

§ Anjuran pemakaian kondom

§ Kontrol ulang bila obat habis atau keluhan bertambah

3. Jika terjadi kehamilan pada remaja maka asuhan antenatal yang diberikan adalah:

§ TTD

§ TT

§ Nasehat & Konseling (sesuai umur kehamilan):

§ Penanganan gangguan yang ditemukan/rujukan

4. Berikan konseling tentang kesehatan pada remaja yang berisi :

§ Kesehatan Repsoduksi Remaja

§ Perilaku hidup sehat bagi remaja

§ Persiapan berkeluarga

§ Konseling untuk mengatasi masalah yang dihadapi → bila tidak dapat ditangani → dirujuk ke fasilitas kesehatan yang sesuai

5. Pada remaja yang perilaku seksualnya aktif, maka bidan harus melakukan :

· Sama dengan Bagan Alur Pelayanan Antenatal

· Konseling yang berkaitan dengan kehamilan dil luar nikah

- Anjuran untuk mempertahankan kehamilan

- Membantu mengatasi masalah yang timbul akibat kehamilannya:

Ø Percobaan pengguguran kandungan

Ø Pengaturan kelangsungan pendidikan

Ø Hubungan dengan pasangan seksual

Ø Hubungan dengan keluarga

Ø Persiapan menjadi orang tua

Referensi:

1. http://www.ilmupsikologi.com/?p=20 posted: April 16th, 2008 by admin

2. http://ceria.bkkbn.go.id/referensi/substansi/index

3. Sulistyo, Rono. 1975. Pendidikan Seks. Bandung : Elistar Offset Eleman.

4. Dianawati, Ajen. 2003. Pendidikan Seks untuk Remaja. Jakarta : Kawan Pustidaka

5. http://www.edubenchmark.com/pendidikan-seks-pada-anak-dan-remaja.html

6. http://mitraaksi.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=15&Itemid=28